Liputan6.com, Jakarta –  Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, menyatakan bahwa perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura merupakan langkah progresif karena mengakomodasi kebutuhan masa kini dan masa depan.

“Dalam perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura, kami telah menciptakan kerangka yang progresif, fleksibel, dan relevan untuk kejahatan masa kini dan yang akan datang,” ujar Yasonna dalam pernyataan resmi di Jakarta, Jumat (29/3/2024), yang dilansir dari Antara.

Menurutnya, perjanjian tersebut terdiri dari 19 pasal yang mencakup beragam bidang, dimana kedua negara sepakat untuk melakukan ekstradisi terhadap individu yang dicari oleh negara lain untuk proses hukum terkait pelanggaran pidana.

Perjanjian tersebut juga memuat daftar 31 jenis tindak pidana yang dapat diekstradisi, termasuk korupsi, pencucian uang, suap, kejahatan perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan aktivitas terorisme, serta berbagai pelanggaran lainnya sesuai hukum kedua negara.

Salah satu fitur khusus dari perjanjian tersebut adalah penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana saat pelanggaran terjadi, untuk mencegah upaya pelaku yang mencoba menghindari proses hukum dengan mengubah kewarganegaraannya.

Yasonna juga menjelaskan bahwa perjanjian ini memiliki efektivitas retrospektif hingga 18 tahun ke belakang, sesuai dengan Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, untuk menjangkau tindak pidana yang terjadi sebelum perjanjian tersebut ditetapkan.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berharap bahwa perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura ini akan segera dimanfaatkan oleh penegak hukum, memberikan efek pencegahan, dan mempersempit ruang gerak pelaku kejahatan untuk melarikan diri.

 



Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *