Nadiem menyebut, seni dan budaya tidak bisa bertahan dalam jangka panjang tanpa dampak ekonomi yang positif bagi pelaku dan komunitasnya. Namun, lanjut dia, tujuan seni dan budaya juga tidak semata-mata untuk mencari keuntungan finansial semata, tetapi juga memiliki nilai-nilai tak terukur yang penting bagi perkembangan suatu bangsa.
“Oleh karena itu, perlu ada peran pemerintah dan juga filantropis yang memberikan subsidi agar lebih tepat sasaran,” jelas Nadiem.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kebudayaan RI Hilmar Farid menilai, kebudayaan perlu mendapat perhatian khusus di luar bayang-bayang pendidikan yang dominan.
Menurut dia, peraturan birokrasi perlu disempurnakan agar institusi kebudayaan dapat beroperasi secara independen dan responsif terhadap perubahan dengan lebih cepat.
“Contoh nyata perubahan yang menuju arah ini adalah pendirian Badan Layanan Umum (BLU) yang mengelola museum, yang akan diluncurkan pada bulan Mei mendatang. Langkah ini menunjukkan upaya dalam melibatkan talenta profesional di luar agar ekosistem kebudayaan dapat tumbuh dan berkembang,” ucap Hilmar.
“Sebelumnya, kita juga memiliki Badan Kreativitas Ekonomi (Bekraf) yang dapat fokus untuk mengelola sektor pariwisata sehingga dapat lebih maju dan berkembang,” sambung dia.
Dengan memperkuat institusi independen dalam mengelola kebudayaan, Indonesia dapat membangun visi ke depan yang kuat dan berkelanjutan.
“Ini adalah langkah yang sangat penting dalam melestarikan dan mengembangkan warisan budaya yang berharga bagi generasi mendatang,” tandas Hilmar.